PERJANJIAN merupakan suatu “perbuatan”, yaitu perbuatan hukum, perbuatan yang mempunyai akibat hukum. Perjanjian juga bisa dibilang sebagai perbuatan untuk memperoleh seperangkat hak dan kewajiban,
yaitu akibat-akibat hukum yang merupakan konsekwensinya. Perbuatan
hukum dalam perjanjian merupakan perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan sesuatu, yaitu memperoleh seperangkat hak dan kewajiban yang disebut prestasi. Prestasi itu meliputi perbuatan-perbuatan:
Menyerahkan sesuatu, misalnya melakukan pembayaran harga barang dalam perjanjian jual beli barang.
Melakukan sesuatu, misalnya menyelesaikan pembangunan jembatan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan.
Tidak melakukan sesuatu, misalnya tidak bekerja di tempat lain selain perusahaan tempatnya bekerja dalam perjanjian kerja.
Perjanjian melibatkan sedikitnya dua pihak yang saling memberikan kesepakatan mereka. Para pihak ini berdiri berhadap-hadapan dalam kutub-kutub hak dan kewajiban. Pihak yang berkewajiban memenuhi isi perjanjian disebut debitur, sedangkan pihak lain yang berhak atas pemenuhan kewajiban itu disebut kreditur.
Dalam perjanjian jual beli mobil, sebagai penjual Gareng berhak
memperoleh pembayaran uang harga mobil, dan disisi lain ia juga
berkewajiban untuk menyerahkan mobilnya kepada Petruk. Sebaliknya,
sebagai pembeli Petruk wajib membayar lunas harga mobil itu dan ia
sekaligus berhak memperoleh mobilnya.
Selain orang-perorangan (manusia secara biologis), para pihak dalam perjanjian bisa juga terdiri dari badan hukum.
Perseroan Terbatas (PT) merupakan badan hukum yang dapat menjadi salah
satu pihak – atau keduanya – dalam perjanjin. Kedua-duanya merupakan
subyek hukum, yaitu pihak-pihak yang dapat melakukan perbuatan hukum,
pihak-pihak yang mengemban hak dan kewajiban. Suatu badan hukum segala
perbuatan hukumnya akan mengikat badan hukum itu sebagai sebuah entitas
legal (legal entity). Meskipun perbuatan badan hukum itu
diwakili pemimpinnya – misalnya Direktur dalam Perseroan Terbatas –
namun perbuatan itu tidak mengikat pemimpin badan hukum itu secara
perorangan, melainkan mewakili perusahaan sebagai legal entity.
Dalam pelaksanaannya, jika terjadi pelanggaran perjanjian, misalnya salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya (wanprestasi)
sehingga menimbulkan kerugian pada hak pihak yang lain, maka pihak yang
dirugikan itu dapat menuntut pemenuhan haknya yang dilanggar. Kalau
Gareng sepakat untuk menjual mobilnya kepada Petruk, demikian juga
Petruk sepakat untuk membeli mobil itu dari Gareng, maka keteledoran
Petruk melakukan pembayaran harga mobil secara tepat waktu akan
melanggar hak Gareng. Selain melanggar hak, keteledoran Petruk juga
dapat merugikan Gareng karena Gareng tidak bisa menjual mobil itu ke
pihak lain yang memiliki komitmen lebih tinggi – secara waktu Gareng
telah dirugikan.
Tujuan perjanjian
layaknya membuat undang-undang, yaitu mengatur hubungan hukum dan
melahirkan seperangkat hak dan kewajiban. Bedanya, undang-undang
mengatur masyarakat secara umum, sedangkan perjanjian hanya mengikat
pihak-pihak yang memberikan kesepakatannya. Karena setiap orang dianggap
melek hukum, maka terhadap semua undang-undang masyarakat
telah dianggap mengetahuinya – sehingga bagi mereka yang melanggar,
siapapun, tak ada alasan untuk lepas dari hukuman. Demikian pula
perjanjian, bertujuan mengatur hubungan-hubungan hukum namun sifatnya
privat, yaitu hanya para pihak yang menandatangani perjanjian itu saja
yang terikat. Jika dalam pelaksanaannya menimbulkan sengketa, perjanjian
itu dapat dihadirkan sebagai alat bukti di pengadilan guna
menyelesaikan sengketa. Perjanjian membuktikan bahwa hubungan hukum para
pihak merupakan sebuah fakta hukum, yang dengan fakta itu
kesalahpahaman dalam sengketa dapat diluruskan – bagaimana seharusnya
hubungan itu dilaksanakan dan siapa yang melanggar.
Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat sahnya perjanjian adalah
syarat-syarat agar perjanjian itu sah dan punya kekuatan mengikat secara
hukum. Tidak terpenuhinya syarat perjanjian akan membuat perjanjian itu
menjadi tidak sah. Menurut pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya
perjanjian terdiri dari:
Syarat Subyektif (Mengenai subyek atau para pihak)
Kata Sepakat
Kata sepakat berarti adanya titik temu (a meeting of the minds)
diantara para pihak tentang kepentingan-kepentingan yang berbeda. Dalam
perjanjian jual beli mobil, Gareng punya kepentingan untuk menjual
mobilnya karena ia membutuhkan uang. Sebaliknya, Petruk membeli mobil
Gareng karena ia punya kepentingan memiliki kendaraan. Pertemuan kedua
kepentingan itu akan mencapai titik keseimbangan dalam perjanjian.
Cakap
Cakap berarti dianggap mampu melakukan
perbuatan hukum. Prinsipnya, semua orang berhak melakukan perbuatan
hukum – setiap orang dapat membuat perjanjian – kecuali orang yang belum
dewasa, dibawah pengampuan, dan orang-orang tertentu yang dilarang oleh
undang-undang.
Syarat Obyektif (Mengenai obyek perjanjian)
Suatu Hal Tertentu
Suatu hal tertentu berarti obyek
perjanjian harus terang dan jelas, dapat ditentukan baik jenis maupun
jumlahnya. Misalnya, Gareng menjual mobil Toyota Avanza Nomor Polisi B
1672 RI dengan harga Rp. 180.000.000 kepada Petruk. Obyek perjanjian
tersebut jenisnya jelas, sebuah mobil dengan spesifikasi tertentu, dan
begitupun harganya.
Suatu Sebab Yang Halal
Suatu sebab yang halal berarti obyek
yang diperjanjikan bukanlah obyek yang terlarang tapi diperbolehkan oleh
hukum. Suatu sebab yang tidak halal itu meliputi perbuatan melanggar
hukum, berlawanan dengan kesusilaan dan melanggar ketertiban umum.
Misalnya perjanjian perdagangan manusia atau senjata ilegal.
Tidak terpenuhinya syarat-syarat
subyektif dan obyektif di atas dapat menyebabkan perjanjian menjadi
tidak sah. Perjanjian yang tidak sah karena tidak terpenuhinya salah
satu syarat subyektif akan mengakibatkan perjanjian itu dapat dimintakan pembatalan (canceling)
oleh salah satu pihak. Maksudnya, salah satu pihak dapat menuntut
pembatalan itu kepada hakim melalui pengadilan. Sebaliknya, apabila
tidak sahnya perjanjian itu disebabkan karena tidak terpenuhinya syarat
obyektif maka perjanjian tersebut batal demi hukum (nul and void),
yaitu secara hukum sejak awal dianggap tidak pernah ada perjanjian.
Selain syarat sahnya perjanjian, suatu perjanjian juga baru akan
mengikat para pihak jika dalam pembuatan dan pelaksanaannya memenuhi asas-asas perjanjian. (legalakses.com).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar